Oleh: Sumintak, M.Si
Dosen Sosiologi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Berbicara mengenai “politk” lazimnya anggapan orang mengatakan bahwa itu sama halnya dengan membicarakan mengenai naluri dan kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Memahami politik dalam arti yang sangat luas, Habermas dalam Hardiman (2009: 143) politik merupakan dimensi yang mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial sebagai keseluruhan. Menyoal Pilkada dewasa ini, masih banyak ditemukan praktik-praktik kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada, mulai dari politik uang sampai penyalahgunaan jabatan dan wewenang.

Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah Bengkulu misalnya, menjadi salah satu contoh nyata bagaimana Pilkada sering kali berujung pada penyalahgunaan wewenang. Jauh sebelum kasus Rohidin Mersyah Gubernur Bengkulu terungkap, Gubernur Bengkulu periode sebelumnya Ridwan Mukti yang tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbukti menerima suap terkait proyek pembangunan infrastruktur wilayah.

Kasus ini tentu menjadi gambaran kelam bagaimana lingkaran korupsi yang mengakar sangat dalam. Ridwan Mukti sebagaimana kepala daerah lainnya yang terjerat kasus korupsi, diduga menggunakan jabatannya utuk “mengembalikan” biaya politik yang telah dikeluarkan selama Pilkada. Kasus Rohidin Mersyah dan Ridwan Mukti di Bengkulu memperbanyak sejarah buruk kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Fakta ini menegaskan bahwa korupsi dalam Pilkada bukan hanya persoalan individu akan tetapi sudah menjadi bagian dari sistem yang sistemik.

Fenomena ini tentu semakin memperlihatkan betapa Pilkada dan Korupsi menjadi suatu fenomena krisis yang perlu dikritisi. Jurgen Habermas dalam esainya yang berjudul “Between Philosophy and Science: Marxism as Critique” yang memperkenalkan konsep “krisis” dalam esai itu dia melihat perlunya mengkaitkan kritik dan krisis. Fenomena penyalahgunaan jabatan menjadi refleksi suram bagaimana Pilkada, yang seharusnya menjadi alat demokrasi, justru sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memperkaya diri sendiri. Lebih jauh lagi, masyarakat yang terjebak dalam praktik politik uang turut menjadi faktor pendukung maraknya kasus korupsi seperti ini.

Korupsi menjadi bagian integral dari Pilkada. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan bahwa 85% kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi terlibat dalam penyalahgunaan anggaran negara atau suap yang berkaitan dengan proses pemilu. Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi lokal bukan hanya ajang persaingan politik tetapi juga sarana untuk mengamankan modal politik secara illegal (KPK, Laporan Tahun 2023). Kajian yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sekarang BRIN (Badan Riset Inovasi Nasional) menunjukkan bahwa tingginya biaya politik dalam Pilkada, yang mencakup dana kampanye hingga dana politik, memaksa calon kepala daerah untuk mencari sumber pembiayaan yang seringkali tidak sah. Akibatnya, setelah terpilih, kepala daerah terpaksa mengembalikan dana tersebut dengan cara yang tidak etis (LIPI, 2022).

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat berkontribusi pada pengembangan praktik korupsi di Pilkada. Salah satu cara kandidat menarik dukungan adalah dengan menggunakan politik uang. Fenomena ini menunjukkan tingkat kesadaran politik yang rendah dalam masyarakat di mana suara rakyat ditukar dengan uang atau barang.

Survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa sekitar 40% populasi terus menganggap politik uang sebagai bagian dari proses pemilu. Padahal, tindakan ini merusak nilai-nilai demokrasi dan menciptakan siklus korupsi yang sulit dihentikan. Korupsi tumbuh karena masyarakat, yang seharusnya menjaga demokrasi (Indeks Persepsi Korupsi 2023).

Kurangnya pendidikan politik yang menyeluruh dalam budaya politik masyarakat Indonesia menunjukkan pemahaman yang belum sempurna tentang demokrasi. Banyak sekali, masyarakat lebih memprioritaskan tujuan jangka pendek, seperti mendapatkan bantuan langsung, daripada mendukung pemimpin yang memiliki tujuan jangka panjang.

Hal ini selaras sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Habermas (1971) bahwa kecenderungan masyarakat dewasa ini kurangnya pertimbangan-pertimbangan rasional bagi Keputusan kehendak politis menunjukkan gejala yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai “pengilhaman politik”.

Lebih lanjut Jurgen Habermas sangat mendambakan terciptanya masyarakat yang demokratis dan rasional artinya, membangun masyarakat atas dasar hubungan antar-pribadi yang Merdeka dan memiliki kemampuan untuk dapat memulihkan kedudukan masyarakat sebagai bagian dari sejarah demokrasi itu sendiri.

Keberhasilan Pilkada bebas korupsi membutuhkan perubahan paradigma, baik dari masyarakat maupun sistem politik itu sendiri. Oleh karena itu, langkah nyata dalam edukasi dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi prioritas utama untuk menciptakan demokrasi yang bersih dan berintegritas.

Pada akhirnya mengatasi korupsi dalam Pilkada memerlukan kesadaran kolektif dari berbagai elemen masyarakat. Upaya ini membutuhkan kolaborasi antara lembaga negara, masyarakat sipil, hingga individu untuk menciptakan proses demokrasi yang lebih bersih dan transparan. Berikut adalah solusi yang dapat diimplementasikan:

  1. Penegakan Hukum yang Tegas

Lembaga penegak hukum, seperti KPK dan Bawaslu, harus memperkuat pengawasan terhadap dana kampanye dan penggunaan anggaran daerah. Dengan memastikan alokasi anggaran berjalan transparan, ruang untuk praktik korupsi dapat diminimalkan.

Selain itu, pemberian sanksi berat kepada pelaku korupsi, baik calon maupun pendukungnya, akan memberikan efek jera. Penegakan hukum ini tidak hanya menindak pelaku tetapi juga memperbaiki persepsi masyarakat tentang pentingnya integritas dalam politik.

  • Pendidikan Politik Masyarakat

Program pendidikan politik menjadi langkah strategis untuk mengubah budaya masyarakat yang permisif terhadap politik uang. Pendidikan ini harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah dan diperluas melalui forum masyarakat.

Dengan cara ini, masyarakat dapat memahami pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan manfaat material sesaat. Kampanye anti-korupsi yang masif dan berkelanjutan juga perlu dilakukan untuk menanamkan nilai demokrasi yang jujur.

  • Transparansi dalam Proses Pilkada

Pemanfaatan teknologi seperti e-voting atau aplikasi pelaporan daring dapat meningkatkan transparansi dalam Pilkada. Sistem digital ini mengurangi celah manipulasi hasil suara dan memastikan proses berjalan lebih efisien. Selain itu, publikasi dana kampanye yang mudah diakses oleh masyarakat umum dapat menjadi sarana kontrol sosial terhadap pengeluaran para kandidat.

  • Keterlibatan Aktif Masyarakat Sipil

Organisasi masyarakat sipil, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), memiliki peran penting dalam mengawasi proses Pilkada. Mereka dapat mengedukasi masyarakat tentang hak politik dan memantau setiap tahapan pemilu. Dengan keterlibatan langsung masyarakat sipil, penyimpangan yang terjadi dapat diungkap lebih awal, dan tekanan terhadap pihak terkait untuk bertindak akan lebih efektif.

Kesadaran kolektif sebagaimana dijelaskan oleh Emile Durkheim dalam bukunya The Division of Labor in Society (1893), menurutnya kesadaran kolektif terdiri dari semua keyakinan dan perasaan yang rata-rata dimiliki oleh anggota masyarakat. Kesadaran kolektif adalah manifestasi dari solidaritas sosial, yaitu ikatan yang menyatukan anggota masyarakat. Kesadaran kolektif juga mencerminkan ciri-ciri dan nilai-nilai tertentu yang dimiliki oleh masyarakat tertentu.

Kesadaran kolektif merupakan pondasi utama untuk mencegah korupsi dalam Pilkada. Setiap elemen, dari individu hingga lembaga negara, harus berperan aktif untuk memastikan bahwa proses demokrasi ini mencerminkan kehendak rakyat dan menghasilkan pemimpin yang bersih dan berintegritas.

Korupsi dalam Pilkada adalah cerminan dari kelemahan struktural dan budaya politik masyarakat. Untuk membangun demokrasi yang sehat, masyarakat harus memainkan peran sentral dalam memastikan bahwa pemimpin terpilih adalah individu yang memiliki integritas dan komitmen terhadap kepentingan publik.

Sumber:

  1. Durkheim, Emile. The Division of Labour in Society. (New York: Free Press, 1893).
  2. Habermas, J. (1971). Toward a Rational Society. Heinemann.
  3. Hardiman, F. B. (2009). Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Kanisius.
  4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023.
  5. Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi 2023.
  6. LIPI, Kajian Biaya Politik dalam Pilkada 2022.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *