Oleh: Sumintak (Dosen Sosiologi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)
Beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh dua kasus bunuh diri yang terjadi di Ciputat dan Kediri. Kasus ini menjadi sorotan karena tidak hanya menggambarkan fenomena tragis, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendalam mengenai penyebab tindakan tersebut. Dalam perspektif sosiologi, kasus bunuh diri tidak hanya dilihat sebagai keputusan individu, tetapi juga sebagai refleksi dari dinamika sosial yang lebih luas.
Emile Durkheim, seorang sosiolog ternama, dalam bukunya Le Suicide (1897), menjelaskan bahwa bunuh diri bukan hanya masalah psikologis individu, tetapi juga fenomena sosial yang dipengaruhi oleh tingkat integrasi dan regulasi sosial. Ia mengklasifikasikan bunuh diri ke dalam empat tipe Pertama Egoistik: terjadi ketika individu merasa terisolasi dari masyarakat. Kedua Altruistik: terjadi ketika individu terlalu terintegrasi dengan nilai atau norma sosial hingga mengorbankan dirinya. Ketiga Anomik: terjadi karena ketidakstabilan sosial yang menyebabkan kebingungan nilai atau norma. Keempat Fatalistik: terjadi ketika individu merasa tertekan oleh aturan sosial yang terlalu kaku.
Menyoal beberpa kasus yang terjadi seperti: Kasus Ciputat, berdasarkan laporan yang beredar, individu yang melakukan bunuh diri di Ciputat diduga mengalami tekanan ekonomi yang berat. Hal ini bisa dianalisis melalui konsep bunuh diri anomik Durkheim, dimana ketidakstabilan ekonomi menciptakan ketidakharmonisan antara harapan individu dan kenyataan yang mereka hadapi. Dalam masyarakat yang mengalami perubahan ekonomi cepat, individu sering kali kehilangan pegangan normatif, yang dapat memicu tindakan nekat (Durkheim, 1897).
Sementara itu, kasus di Kediri mencerminkan isolasi sosial. Pelaku dilaporkan hidup sendiri dalam waktu yang lama dan minim interaksi sosial. Fenomena ini sejalan dengan bunuh diri egoistik yang dipaparkan Durkheim. Ketika integrasi sosial menurun, individu merasa teralienasi dari komunitas, sehingga mereka kehilangan makna hidup (Durkheim, 1897).
Bunuh diri di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh kombinasi faktor ekonomi, budaya, dan teknologi. Misalnya: Tekanan Ekonomi: Ketimpangan sosial dan pengangguran dapat meningkatkan risiko depresi dan tindakan bunuh diri (Kurniawan et al., 2021). Perubahan Nilai Sosial: Modernisasi sering kali menyebabkan pergeseran nilai, yang membuat individu kehilangan pegangan norma tradisional. Media Sosial: Paparan media sosial yang tidak sehat dapat memperburuk isolasi dan tekanan psikologis.
Faktor ekonomi menjadi motif yang sering dijumpai dalam beragam kasus bunuh diri. Misalnya belakangan maraknya pinjaman online di Indonesia telah menjadi salah satu faktor yang memicu tekanan ekonomi pada individu. Mudahnya akses terhadap pinjaman dengan bunga tinggi sering kali berujung pada lingkaran utang yang sulit dihindari. Beberapa faktor utama yang memengaruhi bunuh diri akibat pinjaman online meliputi:
- Tekanan Utang: Beban bunga tinggi dan waktu pelunasan yang singkat menyebabkan stres berkelanjutan.
- Ancaman dari Penagih: Cara penagihan yang intimidatif, termasuk ancaman fisik dan penyebaran data pribadi, meningkatkan tekanan psikologis.
- Kurangnya Literasi Keuangan: Banyak individu yang mengambil pinjaman tanpa memahami konsekuensi jangka panjangnya.
Fenomena bunuh diri akibat tekanan utang bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Korea Selatan, angka bunuh diri yang tinggi sering kali dikaitkan dengan tekanan ekonomi, termasuk utang rumah tangga yang membengkak. Salah satu studi yang dilakukan oleh Korean Institute for Health and Social Affairs menunjukkan bahwa utang berkontribusi signifikan terhadap depresi yang berujung pada bunuh diri, terutama di kalangan usia produktif (Kim et al., 2020).
Di India, kasus bunuh diri di kalangan petani sering kali disebabkan oleh ketidakmampuan membayar utang yang diambil untuk membeli alat pertanian. Lembaga riset National Crime Records Bureau mencatat bahwa sekitar 10% dari kasus bunuh diri di India pada tahun 2022 terkait dengan tekanan utang.
Pendekatan Durkheim menunjukkan bahwa upaya pencegahan harus berfokus pada memperkuat integrasi dan regulasi sosial:
- Regulasi Ketat terhadap Pinjaman Online: Pemerintah harus memberlakukan aturan ketat untuk membatasi bunga tinggi dan metode penagihan yang tidak manusiawi.
- Edukasi Literasi Keuangan: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko pinjaman online dan manajemen keuangan pribadi.
- Penguatan Dukungan Komunitas: Membangun solidaritas sosial melalui komunitas lokal yang dapat memberikan dukungan moral dan material kepada individu yang menghadapi kesulitan.
- Akses Layanan Kesehatan Mental: Memperluas layanan konseling dan terapi untuk membantu individu yang mengalami tekanan berat akibat utang dan isolasi sosial.
- Pelajaran dari Negara Lain: Mengadopsi kebijakan dari negara-negara seperti Korea Selatan yang telah memperkenalkan layanan hotline krisis 24 jam dan program bantuan ekonomi untuk mencegah bunuh diri akibat utang.
Kasus bunuh diri di Ciputat dan Kediri merupakan cerminan persoalan sosial yang kompleks, melibatkan tekanan ekonomi, isolasi sosial, dan dampak negatif pinjaman online. Dengan memahami teori Emile Durkheim, kita dapat menyadari bahwa bunuh diri bukanlah semata-mata keputusan individu, melainkan refleksi dari kondisi sosial yang tidak kondusif. Upaya pencegahan memerlukan pendekatan lintas sektor yang melibatkan regulasi pemerintah, edukasi masyarakat, dan penguatan solidaritas sosial. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat mencegah tragedi serupa di masa mendatang.
Sumber
Durkheim, E. (1897). Le Suicide: A Study in Sociology.
Kim, H., et al. (2020). “Debt and Suicide: A Sociological Perspective.” Korean Journal of Social Health.
Kurniawan, F., et al. (2021). “Faktor Sosial-Ekonomi dalam Kasus Bunuh Diri di Indonesia.” Jurnal Sosiologi Indonesia.
Susanto, D. (2023). “Dampak Pinjaman Online terhadap Kesehatan Mental.” Jurnal Ekonomi dan Psikologi Sosial.