Oleh Eko Ernada
Pengamat Politik dan Ketua RCE-ESD East Kalimantan
Niccolò Machiavelli, seorang filsufdan diplomat Italia dari abad ke-15, dikenal karena gagasannya yang tajam tentang kekuasaan dan bagaimana memeliharanya. Dalam
karya terkenalnya, Il Principe (Sang Pangeran), Machiavelli menguraikan strategi yang diperlukan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan politik, sering kali
mengabaikan norma-norma moral demi stabilitas dan kekuasaan.
Salah satu konsep kuncinya adalah virtù , kemampuan seorang pemimpin untuk
mengendalikan takdirnya melalui tindakan yang strategis dan terukur serta Fortuna, yang menggambarkan peran keberuntungan dalam pencapaian politik. Machiavelli percaya bahwa seorang pemimpin yang sukses harus siap menggunakan segala cara, termasuk manipulasi dan kekerasan jika diperlukan untuk menjaga stabilitas kekuasaannya.
Teori-teori ini, meskipun sering dianggap sinis, menekankan pentingnya pragmatisme dalam kepemimpinan. Karya Machiavelli tidak hanya berkutat pada kekejaman politik, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya adaptasi dan fleksibilitas untuk menghadapi dinamika kekuasaan yang terus berubah. Dalam konteks politik modern, ide-ide ini
masih relevan, terutama dalam menganalisis dinamika kekuasaan antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto di Indonesia.
Ketika Jokowi bersiap untuk menyerahkan estafet kepemimpinan, dan Prabowo diprediksi untuk menggantikannya dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden, metode politik keduanya dapat dibaca melalui lensa Machiavellian. Dalam
pandangan ini, strategi politik yang diterapkan oleh Jokowi dan Prabowomencerminkan unsur-unsur pragmatisme Machiavelli dalam bagaimana mereka membangun dan menjaga kekuasaan. Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, muncul dari latar belakang sederhana dan mengukir jalannya melalui reformasi yang dekat dengan kebutuhan masyarakat. Namun, di balik citra populis tersebut, Jokowi telah menggunakan
manuver politik yang cermat dan cerdas, yang sangat sesuai dengan prinsip-prinsip Machiavellian.
Salah satu contohnya adalah keputusan Jokowi untuk merangkul lawan politiknya, Prabowo Subianto, dengan mengangkatnya sebagai Menteri Pertahanan setelah
mengalahkannya dalam dua pemilihan presiden. Strategi ini tidak hanya berhasil
mengurangi ancaman politik dari Prabowo, tetapi juga menciptakan stabilitas politik dalam kabinetnya.
Machiavelli menyarankan bahwa penguasa yang bijak harus menjaga musuhnya tetap dekat, dan tindakan Jokowi ini adalah contoh klasik dari strategi tersebut. Dengan menjadikan Prabowo bagian dari pemerintahannya, Jokowi berhasil menghindari kemungkinan oposisi yang lebih agresif, sembari menjaga stabilitas politik dalam negeri.
Langkah ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang perlunya menjaga keseimbangan kekuasaan dalam dinamika politik yang kompleks.
Tidak hanya dalam hal aliansi politik, Jokowi juga memastikan bahwa pengaruh keluarganya tetap terjaga di ranah politik nasional. Kenaikan Gibran Rakabuming Raka, dari Wali Kota Surakarta hingga menjadi calon wakil presiden, menandai bahwa Jokowi tengah membangun dinasti politik yang bisa memperpanjang pengaruhnya bahkan setelah dia tidak lagi menjabat sebagai presiden.
Sejalan dengan gagasan Machiavelli tentang pentingnya mewariskan kekuasaan kepada orang-orang yang dapat dipercaya, tindakan ini menunjukkan kecerdasan politik dalam menciptakan kesinambungan kepemimpinan dan memastikan bahwa pengaruh Jokowi tetap relevan di masa depan.
Di sisi lain, perjalanan politik Prabowo Subianto mencerminkan ketekunan dan kemampuan adaptasi yang juga sejalan dengan prinsip Machiavellian. Setelah gagal dalam dua pemilihan presiden, Prabowo menunjukkan sikap pragmatis dengan menerima tawaran Jokowi untuk menjadi bagian dari kabinetnya.
Machiavelli selalu menekankan pentingnya kemampuan untuk beradaptasi dengan zaman, dan keputusan Prabowo untuk bekerja sama dengan Jokowi adalah contoh nyata dari strategi ini. Dengan mengambil posisi yang lebih moderat dan berkolaborasi dengan mantan rivalnya, Prabowo berhasil menjaga relevansi politiknya sambil membangun dukungan yang lebih luas.
Kini, sebagai presiden terpilih, Prabowo tampaknya akan melanjutkan pendekatan pragmatis ini. Keputusannya untuk memilih Gibran sebagai wakil presiden menunjukkan kemampuan Prabowo untuk memanfaatkan Fortuna – atau peluang yang diberikan oleh situasi politik. Dengan menggandeng putra Jokowi, Prabowo telah
mengamankan basis dukungan yang kuat dari pendukung Jokowi, sekaligus menjamin keberlanjutan stabilitas politik dalam negeri. Langkah ini juga mencerminkan kemampuan Prabowo untuk memainkan peran ganda sebagai penerus Jokowi, sekaligus mempersiapkan dirinya untuk mengonsolidasikan kekuasaan.
Namun, tetap ada pertanyaan: sejauh mana Prabowo akan menerapkan prinsip-prinsip Machiavelli dalam memimpin? Dengan latar belakang militer dan reputasi yang
menekankan pada keamanan dan stabilitas nasional, Prabowo mungkin akan lebih mengutamakan gaya kepemimpinan yang menekankan kontrol dan otoritas yang tegas, sebagaimana disarankan oleh Machiavelli.
Di tengah pergeseran kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo, taktik politik ala
Machiavellian tetap menjadi elemen penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan di Indonesia. Jokowi, dengan segala persona kerakyatannya, telah membuktikan bahwa strategi politik yang hati-hati dan terukur, aliansi yang cerdas, serta pembangunan warisan politik yang kuat melalui keluarganya, adalah kunci dalam mempertahankan pengaruh di panggung politik.
Prabowo tampaknya akan melanjutkan pendekatan ini dengan strategi pragmatisnya sendiri, membangun aliansi yang kuat, dan memastikan bahwa kekuasaannya tidak hanya sekadar transisi, tetapi juga merupakan kesinambungan dari warisan politik yang lebih besar.
Seperti yang dinyatakan oleh Max Weber, “Politik adalah seni yang mengendalikan negara dengan cara yang memungkinkan kelangsungan kekuasaan”. Dalam konteks politik Indonesia, strategi yang diadopsi oleh Jokowi dan Prabowo mencerminkan seni menjaga kekuasaan dan relevansi politik melalui pragmatisme yang terukur dan efektif.
Dengan demikian, dinamika politik Indonesia saat ini menunjukkan bagaimana para pemimpin menggunakan kekuatan dan kesempatan untuk memastikan kesinambungan kekuasaan, sesuai dengan prinsip-prinsip Weberian tentang kontrol dan adaptasi dalam politik. (AdiSuparto)