Madiun – Javanewsonline.co.id | Fasilitas umum (Fasum) di Desa Klitik, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun, menuai kontroversi. Warga setempat yang ingin menggunakan fasilitas umum berupa lapangan voli, harus meminta izin kepada kepala desa.
Hal ini diungkapkan oleh salah satu warga yang enggan disebutkan namanya dan bernaung di Kahfi Group. Ia menyayangkan kebijakan tersebut, karena warganya sendiri yang ingin menggunakan fasilitas umum milik desa dipersulit.
“Pada malam itu saya kaget ketika staf saya menghubungi penanggung jawab lapangan yang biasanya kita hubungi, namun kala itu menjawab dengan tegas untuk diminta izin ke kepala desa,” ujarnya, Selasa (19/9).
“Begitu pula ketika staf saya menghubungi sekdes, jawaban yang ia peroleh pun sama, diminta untuk izin ke kepala desa,” lanjutnya.
Ia menilai kebijakan tersebut kurang tepat, karena di sisi lain, Kahfi Group juga ikut membantu menyempurnakan lapangan. Namun, warganya sendiri yang kebetulan ber-KTP lokal sangat dipersulit.
“Masa mau olahraga, harus minta izin sampai ke kepala desa, sedangkan hampir setiap hari banyak pemuda dan bahkan dari sekolahan di sekitar bisa memakai lapangan yang merupakan fasilitas umum, apakah mereka juga sampai minta izin ke kepala desa juga?” jelasnya.
Berkaca dari kejadian tersebut, Kahfi Group memutuskan untuk menarik kembali bantuan CSR yang sudah disumbangkan ke lapangan tersebut.
“Tidak mengapa, kami tidak marah dan juga kami tidak kecewa, ya mungkin memang kami tidak memberikan kontribusi apa-apa di desa. Mungkin karena kebodohan kami saja, ketika ada aturan baru dimana memakai fasum untuk kepentingan harus seijin sampai ke kepala desa, dan itu memang haknya desa,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Desa Klitik belum memberikan keterangan terkait kebijakan tersebut.
Kebijakan Desa Klitik yang mengharuskan warganya meminta izin kepada kepala desa untuk menggunakan fasilitas umum berupa lapangan voli, menuai kontroversi. Kebijakan ini dinilai kurang tepat, karena di sisi lain, warganya sendiri yang ingin menggunakan fasilitas umum milik desa dipersulit.
Kebijakan ini juga dinilai tidak transparan, karena warga tidak mengetahui alasan di balik kebijakan tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga dinilai diskriminatif, karena warga yang bukan ber-KTP lokal tidak dipersulit untuk menggunakan fasilitas umum tersebut.
Kebijakan ini perlu dikaji ulang oleh pihak desa, agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. (YW)