Jakarta – Javanewsonline.co.id | Penghuni Apartemen Robinson yang terletak di Jembatan 2 Raya No: 2, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, mengajukan gugatan class action terhadap PT. PMS selaku developer atas kepemilikan unit apartemen mereka. Gugatan ini didasari oleh bukti kepemilikan dalam bentuk akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Turut tergugat dalam kasus ini adalah Kantor Pertanahan Jakarta Utara.
Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 16 November 2016, penggugat yang diwakili oleh pengacara Yudi Rhisnandi, SH., mengajukan gugatan dengan nomor perkara 553/Pdt.G/2016/PN Jak-utr. Majelis hakim yang terdiri dari Fahzal Hendri SH., MH., Sahlan Efendi, SH., MH., dan Pamaehan Silitonga, SH., Mhum memutuskan untuk mengabulkan gugatan pihak penghuni.
Amar putusan mencakup poin penting, yaitu menyatakan sahnya akta jual beli antara penggugat dan anggota kelompok yang diwakili oleh penggugat. Putusan juga memerintahkan kepada turut tergugat IV untuk melakukan pemecahan sertifikat induk, dengan BPN Jakarta Utara diperintahkan untuk menerbitkan sertifikat sesuai dengan aturan yang berlaku.
Namun, putusan tersebut kemudian diajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 16 Mei 2019 dan diputuskan pada tanggal 9 Juli 2019. Kasasi kemudian diajukan ke Mahkamah Agung (MA) dengan nomor perkara 1121/K/Pdt/2020, dan hasilnya ternyata sejalan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Meskipun putusan tersebut memenangkan penghuni apartemen Robinson dalam hal sahnya akta jual beli, ada kerumitan dalam penggunaannya untuk sertifikat rusun. Perbedaan utama adalah bahwa penghuni hanya memiliki PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli), bukan AJB (Akta Jual Beli). Ini berarti putusan pengadilan bertentangan dengan persyaratan kepemilikan sertifikat rusun.
PPJB dapat dibuat di bawah tangan atau di notaris mana pun, sementara AJB harus dibuat di PPAT tanah yang bersangkutan. Sebagai solusi, pemecahan sertifikat rusun apartemen Robinson seharusnya bisa tercapai dengan berkomunikasi dan berunding dengan PT. PMS sebagai developer. Semua syarat pemecahan sertifikat seharusnya sudah ada pada PT. PMS sebagai developer.
Namun, pihak pengurus rusun terlihat melakukan manuver yang membuat penyelesaian ini semakin tidak jelas. Situasi ini meninggalkan pertanyaan mengapa penyelesaian yang seharusnya sederhana menjadi semakin rumit dan membingungkan. (*)