Pelalawan – Javanewsonline.co.id | Pada 19 Oktober 2023, Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) mengeluarkan penetapan yang mengguncang dunia bisnis perkebunan di Pelalawan, dengan menangguhkan pelaksanaan Surat Keputusan Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Pelalawan Nomor : KPTS. 503/DPMPTSP/IUP-B/2020.02 Tertanggal 11 Juli 2023. Keputusan ini membawa cahaya terang pada dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan Izin Usaha Perkebunan Untuk Budidaya (IUP-B) PT Persada Karya Sejati (PKS).
Praktisi hukum Rusdinur SH MH, saat ditemui di kediamannya, menjelaskan secara rinci mengenai dugaan TPPU ini. Kasus ini menjadi pusat perhatian, terutama terkait dengan pengeluaran kayu oleh PT PKS dan penggunaan hasil kayu tersebut di Pabrik PT RAPP, serta pertanyaan apakah uang yang diperoleh dari penjualan kayu ini benar-benar disetor ke kas negara.
Dalam penjelasannya, Rusdinur SH MH memaparkan bahwa transaksi jual beli kayu ini mencurigakan, mengingat kayu-kayu tersebut ditanam di lahan yang semestinya digunakan untuk perkebunan, bukan hutan tanaman industri. Oleh karena itu, keberadaan PT PKS dan bisnisnya bukan hanya melibatkan izin yang disalahgunakan, tetapi juga menciptakan konsekuensi hukum yang serius.
Menurut Rusdinur, pihak berwenang seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, dan Kementerian Agraria harus memberikan izin dengan cermat dan memastikan ada kontrol yang ketat atas setiap bentuk usaha di daerah tersebut. Sebab, setiap sumber daya alam yang dieksploitasi di wilayah tersebut memiliki dampak ekonomi yang signifikan, termasuk pendapatan pajak yang seharusnya diterima oleh pemerintah daerah.
Rusdinur juga menegaskan bahwa pemerintah daerah harus bertindak tegas jika ada perusahaan yang melanggar izin, karena konsekuensi dari tindakan ilegal tersebut akan merugikan daerah. Jika pelanggaran ini dibiarkan terus berlanjut, dapat menyebabkan konflik berkepanjangan dan bahkan dicurigai adanya kolusi dan kongkalikong yang merugikan keuangan daerah.
Lebih jauh lagi, kasus PT PKS ini bukan hanya masalah pelanggaran izin, tetapi juga terkait dengan status lahan yang belum jelas. Selama beberapa tahun terakhir, terdapat pembiaran terhadap aktivitas perusahaan seperti PT PKS, PT SAW, dan PT RAPP. Ini menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan masyarakat setempat, dan praktik Corporate Social Responsibility (CSR) juga tidak jelas terhadap masyarakat.
Dalam kasus PT PKS, peralihan dari PT Langgam Inti Hibrido (PT LIH) ke PT PKS tidak terdokumentasikan dengan jelas, dan izin usaha perkebunan hanya dimiliki oleh PT PKS, sementara status lahan dan izin-izin lainnya masih ambigu.
Kasus ini mengingatkan kita akan perlunya penegakan hukum, baik secara pidana maupun perdata, terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus ini. Pemerintah daerah juga harus bertanggung jawab atas pembiaran yang telah berlangsung selama beberapa tahun. Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mencabut Izin IUP-B PT Persada Karya Sejati menjadi langkah pertama untuk menghentikan aktivitas perusahaan ini, sambil menunggu putusan hukum lebih lanjut.
Praktisi hukum Rusdinur SH MH menyuarakan harapannya agar lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian dapat mengambil tindakan tegas jika terbukti adanya pelanggaran hukum dalam kasus ini, dan informasi mengenai kasus ini diungkapkan kepada publik melalui media massa. Harapannya, hal ini akan membawa keadilan dan akuntabilitas bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus TPPU di lahan PT PKS. (Erizal)