Takalar – Javanewsonline.co.id |  Mantan Kepala Desa Bontoloe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Syamsuddin Dg. Lewa, kini tengah menjadi sorotan publik. Ia diduga kuat terlibat dalam pemalsuan dokumen terkait Sertifikat Hak Pakai atas tanah yang digunakan untuk Kantor Desa Bontoloe. Dugaan ini berpotensi menambah panjang polemik sengketa kepemilikan tanah yang melibatkan pihak Pemerintah Daerah (Pemda) dan ahli waris yang mengklaim hak atas lahan tersebut.

Sumber di masyarakat mengungkapkan, tanah yang kini menjadi lokasi Kantor Desa Bontoloe sebelumnya hanya berfungsi sebagai lumbung desa sejak zaman Karaeng Galesong. Seiring berjalannya waktu, tanah tersebut kemudian beralih fungsi menjadi kantor desa tanpa ada kompensasi berupa sewa atau kontrak kepada pemilik sah.

Ahli waris yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut, Ramli Dg. Rurung, cucu dari Jahadang Bin Majju, menuntut pengembalian hak atas lahan tersebut. Berdasarkan catatan yang tercantum dalam daftar nomor rinci 544, C1, Kohir 11, lahan tersebut tercatat dengan luas total 10 are, yang telah terpecah menjadi dua bagian, masing-masing 650 m² dan 350 m². Ramli mengklaim bahwa mereka tidak pernah menjual atau mewakafkan tanah tersebut kepada siapa pun.

Lebih mengejutkan, tanah yang sebelumnya hanya digunakan untuk kepentingan publik tersebut kini tercatat atas nama Syamsuddin Dg. Lewa, dengan Sertifikat Hak Pakai yang diterbitkan pada 28 Januari 2003. Hal ini memunculkan dugaan bahwa mantan kepala desa tersebut menggunakan keterangan palsu untuk mengklaim hak atas tanah tersebut, dengan membuat sertifikat yang seolah-olah mengindikasikan bahwa tanah tersebut merupakan milik Pemda.

“Pernyataan ini semakin mengarah pada dugaan adanya kerja sama dengan mafia tanah. Kami menemukan bukti sertifikat yang terbit pada 2003, dengan penunjuk batas yang mencantumkan nama mantan kepala desa tersebut,” ungkap seorang perwakilan ahli waris yang tidak ingin disebutkan namanya.

Pihak Inspektorat setempat juga telah melakukan pertemuan dengan ahli waris, yang menunjukkan bukti sertifikat melalui layar ponsel, yang semakin memperkuat dugaan adanya penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, ahli waris juga menyatakan bahwa meskipun mereka diberikan Surat Keputusan (SK) Bupati sebagai Tenaga Kerja Kebersihan, mereka tidak pernah dipekerjakan di kantor desa, yang menunjukkan adanya pengabaian terhadap SK yang sah.

“Pemerintah daerah harus bertindak tegas. Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa tanah yang selama ini digunakan untuk kepentingan publik tetap berada dalam kendali Pemda,” ujar Ahmad Leo, perwakilan ahli waris.

Saat ini, pejabat pemerintah setempat telah mengonfirmasi bahwa mereka sedang menanggapi serius tuduhan ini dan tengah melakukan penyelidikan lebih lanjut. “Kami akan memastikan agar kasus ini ditangani sesuai dengan hukum yang berlaku,” tambah pejabat tersebut.

Kasus ini memicu ketegangan di masyarakat Desa Bontoloe, dengan warga yang menuntut transparansi serta akuntabilitas dari mantan kepala desa dan otoritas terkait. Apabila terbukti, pemalsuan dokumen ini akan menambah panjang daftar sengketa lahan yang kerap melibatkan oknum yang berupaya menguasai aset-aset publik dengan cara yang merugikan masyarakat dan negara.( Ahmad)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *