Jayapura – Javanewsonline.co.id | Persoalan sengketa tanah adat kembali mencuat di Papua. Pemilik hak ulayat tanah adat Pokhola memalang lokasi Bumi Perkemahan (Buper) Waena, Kota Jayapura, lantaran Pemerintah Provinsi Papua tak kunjung menyelesaikan pembayaran ganti rugi seluas 41 hektar. Aksi pemalangan itu dilakukan setelah keluarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 51166K/PDT/2024 yang memenangkan pihak masyarakat adat.
Aktivis masyarakat adat, Manasse Bernard Taime, menjelaskan bahwa proses hukum panjang telah ditempuh hingga ke tingkat kasasi. “Kami sudah menang di MA. Artinya, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pembayaran ganti rugi tanah adat ini,” kata Taime dalam jumpa pers di lokasi Buper Waena, Kamis, 4 September 2025.
Menurut Taime, lahan adat tersebut sejak 1992 dipakai pemerintah untuk kepentingan pembangunan Bumi Perkemahan Pramuka dan pernah menjadi lokasi Pekan Olahraga Nasional (PON). Ia menyebut, tahap pertama pembayaran seluas 25 hektar telah dilakukan pemerintah dan disertai bukti administrasi lengkap. Namun, pembayaran tahap kedua untuk 41 hektar tidak pernah direalisasikan. “Sudah lebih dari tiga dekade kami menunggu. Ini hak masyarakat adat yang wajib dihormati negara,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Kepala Suku Soleman Puraro. Ia menilai pemerintah daerah selama 32 tahun hanya memberi janji tanpa kepastian. “Pemprov Papua sudah menggunakan tanah ini puluhan tahun, tetapi tidak pernah menuntaskan pembayaran. Kami merasa ditipu. Kalau terus dibiarkan, kami akan ambil kembali tanah ini sesuai adat,” kata Puraro dengan nada tegas.
Soleman berharap Pj Gubernur Papua, Agus Fatoni, dapat segera mengambil langkah konkret. “Kami tidak meminta lebih, hanya menuntut keadilan. Kami ingin mendengar jawaban yang pasti dari pemerintah. Kalau tidak, kami masyarakat adat siap melakukan tindakan sesuai hukum adat,” ujarnya.
Sengketa tanah ulayat di Papua bukan kali pertama terjadi. Sejumlah lokasi pembangunan fasilitas umum kerap memicu perselisihan karena belum tuntasnya ganti rugi kepada masyarakat adat. Praktik ini, menurut pengamat hukum adat, mencerminkan lemahnya tata kelola pertanahan di Papua. Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap dinilai menjadi momentum penting untuk menyelesaikan kasus yang berlarut-larut tersebut.
Taime menambahkan, aksi pemalangan ini bukan bentuk perlawanan, melainkan cara terakhir agar pemerintah mendengar aspirasi masyarakat adat. “Kami sudah menempuh jalur hukum. Kami menang. Tapi jika pemerintah tetap abai, masyarakat punya hak untuk menegakkan keadilan melalui cara adat,” ucapnya.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Provinsi Papua belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan pembayaran ganti rugi 41 hektar tersebut.
Kasus ini juga menjadi sorotan publik setelah diangkat dalam podcast “Seniman Kosakata” yang dipandu Panji Agung Mangkunegoro II, dengan narasumber Manasse Bernard Taime dan Soleman Puraro. Dalam perbincangan itu, keduanya menekankan pentingnya pemerintah menunjukkan iktikad baik.
“Negara harus menghormati masyarakat adat, sebab tanah adalah identitas dan sumber kehidupan kami,” tutur Puraro. Dengan adanya putusan hukum tertinggi, masyarakat adat Pokhola kini menunggu langkah nyata dari pemerintah. Jika tidak, ancaman untuk mengambil kembali tanah ulayat di Buper Waena akan menjadi kenyataan. (Pam)