Langgam Javanewsonline.co.id | Angin sore di tepian Sungai Kampar, Langgam, membawa percakapan lama yang kembali mengemuka: siapa yang berhak menobatkan batin dan penghulu di tanah Pelalawan? Bagi masyarakat adat yang hidup di bawah payung sejarah kerajaan lama itu, pertanyaan semacam ini bukan sekadar soal administratif, melainkan menyentuh jantung warisan budaya.

Pada Kamis, 23 Oktober 2025, Datuk Engku Raja Lela Putra, salah satu tokoh adat tertinggi di wilayah Pelalawan, menegaskan kembali posisi adat yang selama ini dipegang teguh oleh para leluhur. Dalam pernyataannya di Langgam, ia menolak pengukuhan batin oleh lembaga baru yang disebut-sebut belum memiliki akar kuat dalam struktur adat Pelalawan.

“Yang berhak dan berwenang menobatkan para batin dan penghulu di wilayah Kabupaten Pelalawan adalah Datuk Engku Raja Lela Putra,” ujarnya dengan nada tegas. “Jika dinobatkan oleh orang atau lembaga lain, maka itu tidak sah. Apalagi dikukuhkan oleh lembaga yang baru dibentuk, yang umurnya baru setahun jagung.”

Pernyataan itu sekaligus menjadi respons atas munculnya polemik di masyarakat adat Pelalawan beberapa waktu terakhir. Sejumlah pihak disebut telah mengadakan penobatan terhadap seorang Batin Payung, yang oleh Datuk Engku dan para ninik mamak dianggap menyimpang dari tata adat yang berlaku sejak masa Kerajaan Pekantua Kampar, jauh sebelum Republik berdiri.

Warisan Sejak Abad ke-16

Dalam sejarah lisan dan naskah adat yang diwariskan turun-temurun, lembaga perbatinan di Pelalawan telah berdiri sejak tahun 1590 Masehi, masa ketika sistem pemerintahan kerajaan masih berakar pada prinsip alur dan patut keseimbangan antara garis keturunan, musyawarah, dan restu pemimpin adat tertinggi.

“Lembaga perbatinan ini sudah ada sejak lama. Bahkan jauh sebelum negara ini berdiri, dan yang berlaku selama ini bahwa yang menobatkan itu adalah Datuk Engku Raja Lela Putra atau orang yang ditunjuk olehnya,” ujar Datuk Engku lagi.

Menurutnya, proses pengangkatan seorang batin atau penghulu memang berasal dari anak kemenakan dalam satu persukuan, melalui musyawarah adat. Namun tahap akhir, yakni penobatan dan pengesahan, tetap berada di tangan Datuk Engku Raja Lela Putra sebagai representasi lembaga kerajaan Pelalawan.

“Benar, yang mengangkat batin atau penghulu itu anak kemenakan dari persukuan tertentu dengan melihat alur dan patutnya. Tapi yang berwenang menobatkan adalah Datuk Engku Raja Lela Putra dari lembaga kerajaan,” tegasnya.

Benturan antara Adat dan Lembaga Baru

Belakangan, muncul lembaga adat baru yang mengklaim kewenangan dalam hal penobatan dan pengukuhan perangkat adat di sejumlah wilayah Pelalawan. Lembaga inilah yang disebut-sebut menjadi pihak yang mengukuhkan Batin Payung, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan ninik mamak lama.

Bagi Datuk Engku dan para pemangku adat tradisional, kemunculan lembaga semacam itu berpotensi mengaburkan garis legitimasi adat yang sudah berabad-abad dijaga. “Coba baca dan pahami lagi sejarah. Jangan mengada-ada dalam persoalan adat istiadat ini,” ujarnya menyindir pihak yang dianggap tidak memahami tatanan adat Pelalawan.

Dalam pandangan masyarakat adat, proses penobatan bukan sekadar seremoni simbolik. Ia merupakan bagian dari sistem nilai yang menjaga keseimbangan antara pemimpin, rakyat, dan alam. Setiap langkah dalam prosesi itu diatur dengan ketat: mulai dari musyawarah persukuan, pemberian gelar adat, hingga restu akhir dari Datuk Engku sebagai pemangku tahta simbolik kerajaan.

Menjaga Marwah Kerajaan Pelalawan

Polemik ini, menurut sejumlah tokoh adat, mencerminkan dinamika antara upaya modernisasi lembaga budaya dan keinginan mempertahankan otoritas tradisi. Dalam konteks Pelalawan, adat istiadat bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sistem sosial yang masih hidup dan mengatur relasi masyarakat hingga hari ini.

“Selama tata cara adat yang berlaku dalam kerajaan Pelalawan tidak diikuti, polemik seperti ini tidak akan selesai,” tandas Datuk Engku.

Sebagai tokoh pewaris langsung garis kerajaan, Datuk Engku Raja Lela Putra menilai penting untuk menegakkan kembali nilai-nilai adat agar tidak ditarik ke dalam kepentingan politik maupun ambisi kelompok tertentu. “Kita bicara tentang warisan sejarah, bukan soal siapa berkuasa hari ini. Adat tidak boleh dijadikan alat perebutan pengaruh,” ucapnya menutup pertemuan.

Di bawah langit Langgam yang teduh, suara Datuk Engku menggaung seperti pesan leluhur yang tak lekang oleh waktu  bahwa adat bukanlah milik siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling patuh pada sejarah. (Erizal)