Pasar Banjarsari kembali hidup, pedagang bersyukur, warga Pekalongan sambut haru gembira setelah tujuh tahun.
Oleh: Budi Waluyo
Matahari baru saja menampakkan sinarnya ketika deretan kios di Pasar Banjarsari mulai membuka pintu. Bau tanah basah dari hujan malam sebelumnya bercampur dengan aroma sayur segar dan wangi kembang kantil yang dibawa pedagang dari desa sebelah. Suasana itu berbeda dari biasanya: ada haru, ada tawa, ada rasa lega yang tak bisa sepenuhnya diucapkan.

Setelah tujuh tahun menanti, akhirnya Kamis pagi, 25 September 2025, ribuan pedagang kembali menempati rumah lamanya—Pasar Banjarsari. Pasar yang dulu hanya tinggal cerita, kini berdiri kembali dengan wajah baru: tiga lantai yang kokoh, kios tertata rapi, lorong lebih lega, dan atap yang menjulang terang oleh cahaya.
Kembali dari Pengungsian Panjang
Bagi para pedagang, tujuh tahun terakhir bukanlah waktu yang singkat. Sejak 2018, mereka harus berpindah ke pasar darurat di Lapangan Sorogenen dan sepanjang Jalan Patiunus. Di sana, seng sebagai atap menjadi teman sehari-hari, menahan panas menyengat dan hujan yang bocor tanpa kompromi.

Ibu Wahyuningsih, pedagang sayur-mayur yang sudah menempati Pasar Banjarsari sejak 1985, tak kuasa menahan senyum ketika kembali membuka kiosnya. Tangannya sibuk merapikan tumpukan kol, sawi, dan wortel, namun matanya sesekali menatap ke sekeliling, seolah memastikan bahwa ini benar-benar nyata.
“Saya senang sekali, tempatnya nyaman dan bersih. Semoga pelanggan lama kembali berbelanja di sini, dan mudah-mudahan juga bisa dapat pelanggan baru,” ujarnya dengan mata berbinar.
Wahyuningsih masih ingat bagaimana dulu dirinya harus menggelar dagangan di atas tanah becek di pasar darurat. “Kalau hujan, ya basah semua. Kalau panas, ya gerah luar biasa. Tapi mau bagaimana lagi, kami hanya bisa bertahan,” kenangnya. Kini, kios permanen dengan lantai keramik putih dan atap tinggi seakan menjadi hadiah atas kesabaran panjang itu.
Pasar dengan Wajah Baru
Pembangunan Pasar Banjarsari bukanlah perkara sederhana. Kepala Bidang Pasar dan PKL DINDAGKOP UKM Kota Pekalongan, Dedi Setiawan, menyebut proyek ini dirancang dengan standar ketat.
“Bangunan pasar ini sudah ditata oleh Tim KKBG (Komite Keselamatan Bangunan Gedung) Kementerian PUPR. Dengan empat blok, tiga lantai, dan kapasitas 3.192 lapak, pasar ini mengusung konsep tradisional modern sesuai aturan SNI,” jelasnya.
Konsep tradisional modern itu tampak dari cara kios-kios diposisikan: tetap mengakomodasi suasana akrab khas pasar rakyat, tetapi lebih rapi, bersih, dan ramah bagi pengunjung. Lorongnya cukup lebar untuk dilalui pembeli, bahkan saat pasar sedang ramai. Sistem drainase pun dibangun lebih baik agar genangan air tidak lagi menjadi momok.
Di sisi lain, identitas lokal tetap dijaga. Di beberapa sudut, motif batik khas Pekalongan menghiasi dinding. Kios-kios batik ditempatkan di lantai atas, menjadi ruang khusus yang menegaskan identitas kota batik dunia.
Simbol Kebangkitan Ekonomi
Lebih dari sekadar tempat jual beli, Pasar Banjarsari adalah urat nadi ekonomi warga Pekalongan Timur. Ribuan pedagang kecil menggantungkan hidup dari transaksi harian di sini: dari penjual sayur dan ikan, pedagang pakaian, hingga penyedia jasa kecil seperti tukang jahit dan tukang sol sepatu.
“Pasar itu bukan hanya soal ekonomi. Ia juga ruang sosial, ruang budaya,” kata Dedi. Ia menambahkan, pemerintah kota berharap masyarakat Pekalongan kembali meramaikan pasar ini, “karena tersedia beragam kebutuhan pokok, perlengkapan rumah tangga, hingga aneka batik khas Pekalongan.”
Harapan itu langsung terasa sejak hari pertama. Sejak pagi buta, pembeli mulai berdatangan. Sebagian datang karena ingin berbelanja, sebagian lagi sekadar ingin melihat wajah baru pasar yang selama ini mereka rindukan. Beberapa ibu rumah tangga bahkan tampak berfoto di depan gerbang utama yang baru dicat, seolah ingin mengabadikan momen bersejarah itu.
Kenangan dan Harapan
Bagi warga Pekalongan, Pasar Banjarsari bukan sekadar bangunan, melainkan memori kolektif. Di sinilah anak-anak dulu belajar menawar, di sinilah keluarga mencari bahan makanan untuk perayaan Lebaran, di sinilah pula cerita tentang jatuh bangun ekonomi kecil tersimpan.
Kini, dengan wajah barunya, Pasar Banjarsari memikul harapan besar: bukan hanya menjadi pusat perdagangan, tetapi juga menjadi simbol kebangkitan ekonomi kerakyatan. Para pedagang berharap dagangan mereka kembali laris, sementara pemerintah daerah berharap pasar ini bisa menghidupkan kembali denyut ekonomi yang sempat melemah.
Ibu Wahyuningsih menutup perbincangan dengan doa sederhana, “Semoga pasar ini panjang umur, ramai terus, dan bisa memberi rezeki untuk semua.”
Hari itu, tawa dan canda mengiringi aktivitas jual beli. Suara tawar-menawar kembali terdengar, aroma masakan dari warung makan kembali memenuhi udara. Pasar Banjarsari telah kembali hidup, bukan hanya sebagai tempat perdagangan, tetapi juga sebagai ruang perjumpaan dan identitas Pekalongan.