Polemik agraria di Kabupaten Tulungagung kembali mencuat. Kuasa hukum Kelompok Masyarakat (Pokmas) Margo Mulyo, Mohammad Ababilil Mujaddidyn, menuding Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tulungagung tidak serius menangani dugaan praktik mafia tanah.

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama filenya adalah mafia-1.jpg

Kritik itu disampaikan Bily sapaan Ababilil usai menghadiri klarifikasi di kantor ATR/BPN Tulungagung, Rabu, 1 Oktober 2025. Ia menilai tuntutan aksi damai masyarakat pada 11 September lalu tidak memperoleh jawaban memadai.

“Pertemuan hanya dihadiri pejabat setingkat kepala seksi. Kepala BPN seolah tidak mengindahkan aspirasi warga, padahal menyangkut hak masyarakat luas,” ujar pengacara dari Bily Nobile & Associates itu.

Pokmas menyoroti sedikitnya 264 hektare lahan di beberapa kecamatan yang dinilai bermasalah. Kasus paling menonjol adalah proyek Sangrila Memorial Park di Desa Ngepoh, Tanggunggunung. Lahan pertanian produktif seluas 80 hektare dialihfungsikan menjadi pemakaman modern tanpa dasar Perda tata ruang.

Selain itu, warga Desa Mulyosari mengklaim 5 hektare tanah mereka beralih kepemilikan tanpa transaksi jual beli sah. “Luas tanah yang di Desa Ngepoh itu total 264 hektar dan di bangun makam kurang lebih 80 hektar, yang saya dampingi 4 desa, Ngepoh, Nyawangan, Picisan, Kalibatur. Ini jelas mengarah pada praktik mafia tanah. Warga kecil dipaksa kalah di atas kertas, sementara proyek besar jalan terus,” kata Bily.

Merasa BPN Tulungagung tidak memberi jawaban konkret, Billy kini menuntut langkah tegas dari pemerintah pusat. Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto menurunkan Satgas Mafia Tanah, Jaksa Agung, hingga Bareskrim Polri untuk melakukan audit menyeluruh guna mengusut dugaan pelanggaran.

Menanggapi tudingan tersebut, Kepala ATR/BPN Tulungagung, Gatot Suyanto, membantah lembaganya abai. Ia menyatakan ketidakhadirannya dalam pertemuan karena kondisi kesehatan dan agenda rapat daring. “Saya sudah tugaskan kepala seksi menerima perwakilan pokmas. Aspirasi mereka sudah kami teruskan ke pimpinan,” kata Gatot, saat dihubungi awak media, pada Rabu (01/10).

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama filenya adalah mafia-2.jpg

Menurutnya, jawaban resmi juga telah disampaikan melalui surat kepada masyarakat. Namun, sebagian besar permintaan warga berada di luar kewenangan BPN. “Kalau ada yang belum puas itu wajar. Banyak hal memang bukan wewenang kami untuk memutuskan. Tapi kami sudah tindak lanjuti,” ujarnya.

Meski BPN mengklaim telah menindaklanjuti, publik menilai jawaban mereka hanya normatif. Transparansi status tanah, keterbukaan izin, hingga audit penggunaan lahan masih menjadi tuntutan utama yang belum dipenuhi.

Ketidakjelasan ini memperpanjang daftar konflik agraria di Tulungagung. Warga menegaskan akan terus mengawal persoalan ini, bahkan menempuh jalur hukum dan politik bila perlu.

Situasi ini menambah daftar panjang konflik agraria di Tulungagung. Warga menegaskan akan terus mengawal persoalan tersebut, bahkan siap menempuh jalur hukum maupun politik. Kini, bola panas ada di tangan pemerintah pusat, apakah Satgas Mafia Tanah akan benar-benar turun tangan, atau justru konflik ini akan dibiarkan berlarut tanpa kepastian? (Jk)