Oleh: Arfa Istiqamah
Jurusan Informatika, Fakultas Ilmu Komputer
Mahasiswa UPN “Veteran” Surabaya – Jawa Timur

Transformasi digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Hampir seluruh aktivitas dari sosial, ekonomi, hingga pendidikan bergantung pada teknologi. Namun di balik kemudahan itu, ada sisi gelap yang semakin tampak jelas: kesenjangan digital. Fenomena ini bukan hanya tentang siapa yang bisa mengakses internet dan siapa yang tidak, tetapi juga telah berkembang menjadi akar baru dari ketimpangan sosial di era informasi.

Kesenjangan digital menciptakan jurang antara individu, rumah tangga, pelaku bisnis, bahkan antarwilayah. Mereka yang memiliki akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat melaju lebih cepat, sementara yang tidak memiliki akses justru semakin tertinggal. Dampaknya terasa bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga dalam struktur sosial dan budaya masyarakat.

Awalnya, isu kesenjangan digital hanya berfokus pada ketersediaan infrastruktur siapa yang memiliki jaringan internet, komputer, atau ponsel pintar. Namun, seiring dengan meningkatnya penetrasi internet di Indonesia, masalah ini berkembang menjadi lebih kompleks. Kini, literasi digital menjadi tantangan utama: kemampuan untuk memahami, menilai, dan menggunakan teknologi dengan cerdas dan produktif.

Kelompok ekonomi menengah ke bawah, misalnya, sering kali membeli ponsel pintar karena menganggapnya sebagai simbol kemajuan. Sayangnya, pemanfaatan teknologi di kalangan ini masih bersifat pasif lebih banyak digunakan untuk hiburan atau media sosial, bukan untuk hal produktif. Bahkan, tanpa disadari, banyak yang ikut menyebarkan konten negatif, berita bohong, atau video tidak pantas yang justru merusak moral generasi muda.

Sebaliknya, kalangan menengah ke atas dan kelompok terdidik mampu menjadikan teknologi sebagai alat produktivitas. Mereka memanfaatkan internet untuk berbisnis, berinovasi, dan memperluas jaringan usaha. Perbedaan cara pemanfaatan inilah yang menjadi akar ketimpangan sosial baru: satu kelompok menjadi pengendali ekonomi digital, sementara kelompok lain hanya menjadi konsumen pasif yang tertinggal.

Kesenjangan digital juga sangat terasa di bidang pendidikan. Pandemi Covid-19 menjadi contoh nyata bagaimana perbedaan akses internet dapat memengaruhi mutu belajar siswa. Sekolah di perkotaan yang memiliki fasilitas lengkap mampu beradaptasi dengan cepat terhadap sistem daring. Namun, di daerah pedesaan, banyak siswa harus berjuang mulai dari sinyal buruk, tidak punya perangkat yang memadai, hingga harus berjalan jauh demi mendapatkan koneksi internet.

Masalah literasi digital juga melahirkan fenomena baru: penggunaan kecerdasan buatan (AI) secara tidak bijak oleh pelajar. Banyak siswa yang hanya menyalin hasil dari AI tanpa memahami isinya. Kebiasaan ini bukan hanya menurunkan integritas akademik, tetapi juga melemahkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Akibatnya, pendidikan kehilangan nilai moral dan intelektualnya.

Ketimpangan digital di dunia pendidikan akan berlanjut menjadi kesenjangan ekonomi di masa depan. Siswa yang tertinggal dalam keterampilan digital akan sulit bersaing di pasar kerja yang menuntut kemampuan teknologi tinggi. Sebaliknya, mereka yang sejak dini akrab dengan teknologi akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan bergaji besar dan berpeluang global.

Dalam dunia kerja, kesenjangan digital menciptakan dua kelas pekerja: mereka yang memiliki keterampilan digital dan mereka yang tidak. Pekerja digital bisa bekerja jarak jauh, mengikuti pelatihan internasional, dan menuntut gaji tinggi. Sedangkan pekerja non-digital sering terjebak di pekerjaan dengan upah rendah dan mudah tergantikan oleh mesin. Akibatnya, jurang pendapatan semakin lebar, memperkuat struktur kelas sosial yang tidak seimbang.

Kesenjangan ini juga berdampak pada keamanan sosial. Meningkatnya kasus penipuan daring, pencurian data pribadi, hingga perdagangan ilegal melalui platform digital menjadi ancaman nyata. Kurangnya pemahaman tentang keamanan siber membuat masyarakat mudah tertipu dan tereksploitasi.

Di sektor publik, digitalisasi memang dimaksudkan untuk efisiensi. Namun bagi masyarakat yang belum melek teknologi terutama lansia dan warga miskin digitalisasi justru menjadi penghalang. Misalnya, sistem bantuan sosial berbasis daring yang sulit diakses oleh warga yang tidak memahami prosedur digital.

Hal yang sama terjadi di sektor ekonomi. Banyak pedagang tradisional mulai kehilangan pelanggan karena kalah saing dengan toko online. Mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan teknologi perlahan tersingkir dari pasar. Ini membuktikan bahwa teknologi kini menjadi penentu siapa yang bertahan dan siapa yang tertinggal.

Dalam bidang politik, kesenjangan digital juga berpengaruh besar. Proses demokrasi kini banyak berlangsung secara digital melalui survei, petisi online, dan forum kebijakan. Masyarakat yang tidak memiliki akses digital berpotensi kehilangan suara dan terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan publik. Jika ini dibiarkan, demokrasi akan kehilangan makna inklusifnya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengubah pendekatan pembangunan digital. Fokusnya tidak hanya pada perluasan infrastruktur, tetapi juga pada peningkatan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi. Program literasi digital nasional harus dilakukan secara berkelanjutan, melibatkan berbagai pihak seperti sekolah, universitas, komunitas, hingga pelaku usaha. Pelatihan tentang keamanan siber, etika bermedia, dan pemanfaatan teknologi untuk ekonomi kreatif harus menjadi prioritas.

Selain itu, prinsip “Digital First, But Not Digital Only” penting diterapkan dalam layanan publik. Artinya, digitalisasi tetap menjadi prioritas, namun jalur alternatif non-digital juga perlu disediakan agar semua warga bisa terlayani tanpa terkecuali.

Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat penting untuk membangun pusat-pusat inklusi digital di berbagai daerah. Fasilitas ini bisa menyediakan akses internet gratis, perangkat, serta pelatihan digital bagi masyarakat yang membutuhkan. Dengan begitu, teknologi tidak lagi menjadi sumber kesenjangan, melainkan alat pemberdayaan.

Era digital sebenarnya membawa peluang besar untuk kemajuan bangsa. Tetapi tanpa pemerataan akses dan kemampuan, kemajuan ini hanya akan dinikmati segelintir orang. Jika kesenjangan digital terus melebar, kita tidak akan membangun masyarakat modern yang inklusif, melainkan peradaban baru yang timpang dan eksklusif.

Digitalisasi seharusnya menjadi jembatan menuju keadilan sosial bukan tembok pemisah antara mereka yang mampu dan yang tidak. Tanggung jawab bersama baik pemerintah, akademisi, industri, maupun masyarakat adalah memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang di dunia digital. Hanya dengan begitu, teknologi dapat benar-benar menjadi sarana kemajuan bersama, bukan sumber ketidaksetaraan baru. ##