Jakarta- Javanewsonline.co.id | Di antara para pegawai Bank Indonesia (BI), nama Agus Yunanto mungkin tak pernah tercatat dalam daftar pejabat tinggi atau tokoh besar yang sering tampil di panggung nasional.
Namun, kisah perjalanannya menembus sekat-sekat birokrasi, dari seorang satpam hingga dipercaya sebagai Kepala Seksi BI di London, menjadi bukti bahwa tekad dan kerja keras bisa mengalahkan sekat akademis maupun hirarki kelembagaan.
Agus masuk BI pada 1976. Saat itu, dengan bekal ijazah SMA, ia diterima sebagai satpam. Status satpam kala itu berbeda dengan sekarang, ia merupakan pegawai tetap, bukan tenaga outsourcing.
Delapan belas tahun lamanya Agus menjalani tugas sebagai penjaga pintu gerbang, petugas keamanan yang sering kali dipandang sebelah mata. “Saya tidak mau begini terus,” katanya mengenang.
Dorongan untuk keluar dari zona nyaman mulai tumbuh ketika ia melihat para pegawai BI lain bisa studi banding luar negeri. Agus penasaran, bagaimana syaratnya. Ia tahu salah satunya adalah menguasai bahasa Inggris, dibuktikan dengan skor tes TOEIC nya.
Tanpa menunggu fasilitas kantor, ia nekat membiayai sendiri ujian itu. “Saya harus move on, mengubah nasib,” ucapnya.
Dari Satpam ke Studi Banding
Upaya itu tak sia-sia. Pada 1990, Agus mendapat kesempatan langka: ikut field visit tentang sistem keamanan di Bank Negara Malaysia dan Monetary Authority of Singapore serta Bank of Thailand.
Terpilihnya ia sebagai satpam yang bisa studi banding membuat heboh internal BI. Belum pernah ada sejarah satpam mendapat kesempatan seperti itu.
Namun, bagi Agus, itu baru awal. Ia mulai jatuh hati pada dunia protokoler. Setiap kali ada kesempatan, ia belajar otodidak, mendatangi ruang kerja pegawai protokol, dan bertekad agar suatu hari nanti ia bisa duduk disitu, ia akan berada disitu.
Kesempatan emas datang ketika ada pertemuan Bank Dunia & IMF di Bali. Agus dipercaya menjadi operator proyektor transparansi. Tugas sepele itu justru membuatnya dikenal banyak delegasi. Sepulang dari Bali, ia resmi dipindahkan ke bagian protokol. “Saya bertahan sekitar tujuh hingga delapan tahun,” tuturnya.
Meniti Jalur Syariah
Setelah cukup lama berkiprah di protokol, Agus merasa tak boleh berhenti. Ia mulai melirik divisi baru yang tengah dikembangkan : perbankan syariah. Meski belum kuliah, ia nekat mendaftar.
Hasilnya mengejutkan, ia lulus uji. Dari situ, Agus makin yakin untuk melanjutkan pendidikan formal. Tahun 2005, ia meraih gelar sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta, kuliah sambil tetap bekerja.
Di unit syariah BI, Agus ikut menggagas sejumlah kegiatan besar, termasuk Extravaganza Sharia Economic Festival. Baginya, substansi syariah bukan sekadar aturan agama, melainkan juga bagaimana menciptakan stimulus agar pangsa pasar keuangan syariah bisa tumbuh.
“Kalau hanya duduk diam, tidak ada hasilnya,” katanya.
Puncak pencapaiannya datang pada 2009. Dari lima kandidat, ia terpilih untuk ditempatkan di kantor perwakilan BI di London. Empat kandidat lain adalah lulusan universitas ternama dengan gelar S2. Agus hanya lulusan S1.
Tapi Dewan Gubernur BI punya kewenangan memilih, dan Agus yang akhirnya yg terpilih. “Banyak yang terheran dengan pencapaian saya,” ujarnya.
Di London, jabatannya kepala seksi, level paling rendah dalam struktur BI. Namun, posisinya strategis: ia menangani protokoler dan terlibat dalam penyelenggaraan forum internasional.
Salah satunya International Islamic Finance Forum di London, yang mendatangkan peserta dari Timur Tengah. “Itu konsekuensinya, saya harus kreatif dan inovatif,” katanya.
Selesai bertugas di London, Agus dipindahkan ke BI Denpasar sebagai manajer protokol. Di masa jelang pensiun, ia mendapat tawaran bergabung ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru dibentuk.
Tawaran itu datang dari Muliaman D. Hadad, mantan Deputi Gubernur BI yang kelak menjadi Ketua Dewan Komisioner OJK. “Saya dipercaya sebagai pegawai tetap di OJK,” kata Agus.
Perjalanan Agus juga bersinggungan dengan peristiwa penting dalam sejarah perbankan nasional. Ia pernah mendampingi Gubernur BI Adrianus Mooy pada masa kritis penutupan Bank Summa, Desember 1992. Sebagai ajudan tak resmi, Agus menyaksikan bagaimana rapat darurat dengan Presiden Soeharto di Cendana berlangsung. “Sepulang dari sana, Pak Mooy kelihatan lesu,” kenangnya.
Agus juga mendengar langsung obrolan di mobil ketika Mooy berkata, “Tutup saja Bank Summa, karena sudah banyak kalah kliring.” Bagi Agus, pengalaman itu meninggalkan jejak mendalam, karena ia menjadi saksi mata proses krisis yang sempat mengguncang ekonomi Indonesia.
Di balik semua pencapaiannya, Agus selalu kembali pada prinsip sederhana : nasib hanya bisa diubah oleh diri sendiri. Ia sering mengutip ayat Al-Qur’an, “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri.”
Dengan prinsip itu, ia tak pernah minder meski hanya lulusan SMA saat masuk BI. Ia belajar bahasa Inggris diantaranya dengan mendengarkan lagu-lagu Bee Gees dan Genesis, membaca buku ekonomi, hingga berlatih artikulasi sendiri. “Saya tidak mau tergantung pada orang lain, tapi berusaha maksimal,” ujarnya.
Kisah Agus Yunanto adalah kisah tentang keuletan. Dari satpam menjadi protokol, dari operator proyektor ke London, dari lulusan S1 universitas swasta ke forum internasional.
Semua ditempuh bukan dengan jalan mulus, bukan dengan sim salabim, tapi dengan kerja keras, keberanian, dan kepercayaan diri. “Jangan kecil hati,” katanya. “Kalau kita serius, selalu ada jalan.”
Kini, setelah pensiun, Agus masih aktif menyusun rencana menyelenggarakan pelatihan. Ia ingin pengalamannya bisa menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya, terutama mereka yang datang dari latar belakang sederhana. “Kalau saya bisa, kenapa yang lain tidak?” ujarnya sambil tersenyum. (SL)