Cukai rokok tinggi, talas beneng dinilai berpotensi jadi alternatif tembakau industri kretek nasional.

Jakarta –  Javanewsonline.co.id | Tingginya tarif cukai hasil tembakau yang kini mencapai 57 persen mendorong pencarian bahan baku alternatif dalam industri rokok nasional. Salah satu yang tengah naik daun adalah talas beneng, varietas talas khas Banten yang dinilai berpotensi menjadi pengganti sebagian bahan baku tembakau.

Ahli pertanian Kang Arif menilai momentum kenaikan cukai bisa dimanfaatkan untuk melakukan diversifikasi bahan baku. “Kalau rokoknya dicampur daun talas yang sudah dirajang, tarif cukai sangat mungkin diturunkan oleh pemerintah,” ujar Arif, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Respati Indonesia, saat ditemui di Serang, Minggu, 21 September 2025.

Menurut Arif, rendahnya kadar nikotin pada rajangan kering talas beneng bisa menjadi dasar bagi pemerintah untuk memberikan insentif fiskal bagi produk rokok campuran. Ia menyebut beberapa produsen telah melirik komoditas ini seiring meningkatnya tekanan regulasi terhadap industri kretek. “Sudah ada sinyal. Permintaan dari dalam maupun luar negeri terhadap rajangan daun talas beneng sangat tinggi,” katanya.

Talas beneng dikenal sebagai varietas unggulan Banten. Daunnya tipis, lembut, dan bertekstur licin, dengan ciri ketiak daun berbentuk huruf V. Umbinya berwarna kuning bila dipotong. Daun tua dijual seharga Rp1.500 per kilogram. Satu saung produksi minimal membutuhkan 300 kilogram daun basah per hari. Sentra utama budidaya berada di Desa Talaga Warna, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang.

Dorongan untuk mencari alternatif bahan baku juga dipicu oleh kondisi finansial perusahaan rokok besar. PT Gudang Garam Tbk, misalnya, dikabarkan tengah menghadapi tekanan kinerja. Arif menyebut situasi ini dapat mendorong perusahaan-perusahaan besar melobi pemerintah agar memberi relaksasi tarif pada produk yang menggunakan bahan campuran non-tembakau. “Kalau benar Gudang Garam sedang intens melobi soal tarif, bisa jadi penggunaan talas beneng menjadi salah satu opsi strategis. Kami juga sedang memperluas penanaman dan kemitraan produksi,” ujarnya.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sendiri pernah mengaku terkejut saat mengetahui besaran tarif cukai tembakau yang mencapai 57 persen. Cukai, yang sejak lama menjadi instrumen fiskal utama, memang diharapkan bisa menekan jumlah perokok sekaligus menjaga penerimaan negara. Namun, bagi pelaku industri, regulasi ini menuntut inovasi agar bisnis tetap bertahan.

Selain potensi untuk industri rokok, talas beneng juga mulai dipromosikan sebagai komoditas strategis daerah. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Serang bersama Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) akan menggelar Pekan Daerah pada 26–30 September mendatang. Agenda ini menampilkan ragam inovasi, termasuk pengembangan produk turunan talas.

“Akan ada uji keterampilan, teknologi tepat guna, hingga konsep café berbasis kopi unggulan dan olahan talas. Kami ingin menunjukkan bahwa talas beneng tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga bisa mendorong kreativitas masyarakat,” ujar Arif.

Upaya ini diharapkan memperkuat posisi talas beneng dalam rantai pasok industri sekaligus membuka peluang baru bagi petani lokal. Dengan prospek pasar yang kian terbuka, komoditas ini berpeluang besar menjadi ikon pertanian Banten sekaligus penopang transformasi industri rokok ke arah yang lebih adaptif terhadap regulasi kesehatan dan fiskal. (Liu)