Jakarta – Javanewsonline.co.id | Polemik pencabutan kartu liputan Istana yang dialami jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, menuai perhatian luas. Kejadian itu bermula usai Diana mengajukan pertanyaan tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto, sepulangnya dari lawatan luar negeri pada Sabtu, 27 September 2025.
Langkah Biro Pers Sekretariat Presiden mencabut kartu liputan Diana dinilai sejumlah kalangan sebagai tindakan berlebihan yang berpotensi mencederai prinsip kebebasan pers. Praktisi media sekaligus pemerhati demokrasi, KRH. HM. Jusuf Rizal, turut menanggapi kasus tersebut. Menurut dia, insiden ini bukan sekadar soal relasi antara Presiden dan jurnalis, melainkan cermin rapuhnya keseimbangan antara etika profesi dan hak atas kebebasan pers.
“Pers memang memiliki hak untuk bertanya, termasuk mengajukan pertanyaan kritis. Namun harus dipahami bahwa forum resmi kepresidenan memiliki tata cara dan aturan tertentu. Apalagi Presiden baru saja kembali dari agenda luar negeri yang menyangkut politik internasional dan kepentingan strategis nasional,” kata Jusuf Rizal saat dihubungi, Senin, 29 September 2025.
Ia menjelaskan, dalam situasi semacam itu wajar bila jalannya konferensi pers diarahkan agar fokus pada isu utama yang telah ditentukan. Akan tetapi, ia menilai keputusan mencabut kartu liputan seorang jurnalis tidak proporsional. “Langkah itu kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan kesan negatif terhadap Presiden Prabowo, seolah-olah tidak siap menerima pertanyaan kritis. Padahal bisa saja yang terjadi hanyalah miskomunikasi teknis,” ujar Jusuf.
Dalam pandangannya, jurnalis tidak bisa diposisikan sebagai bawahan birokrasi Istana. Jusuf menegaskan peran media adalah mitra strategis pemerintah, bukan sekadar pelengkap protokoler. “Jurnalis bukan pelayan Istana. Mereka adalah bagian dari pilar demokrasi. Karena itu, peran dan fungsi pers harus dihormati,” katanya.
Namun ia juga mengingatkan kalangan jurnalis untuk tidak melupakan etika dan profesionalisme. Kebebasan bertanya, menurutnya, bukanlah kebebasan tanpa batas. “Pertanyaan kritis itu sah dan perlu. Tetapi seorang wartawan tetap harus cermat membaca situasi, memahami prioritas isu, dan memilih momentum yang tepat. Kalau tidak, pertanyaan bisa saja dianggap tidak relevan atau terkesan mencari sensasi,” ucapnya.
Jusuf menilai, polemik ini bisa menjadi momentum evaluasi dua arah. Di satu sisi, pemerintah diminta tidak bersikap represif terhadap media. Membuka ruang dialog dengan pers justru akan memperkuat citra demokratis Presiden Prabowo. “Kalau ada pertanyaan yang dianggap keluar konteks, seharusnya cukup dijawab singkat atau diarahkan. Tidak perlu sampai mencabut akses peliputan,” ujarnya.
Di sisi lain, ia menekankan perlunya refleksi dari komunitas jurnalis. Menurutnya, mematuhi tata acara, menghormati agenda, serta menjaga kualitas pertanyaan merupakan tanggung jawab profesi. “Itu bukan pembatasan kebebasan, melainkan bagian dari menjaga marwah jurnalisme,” katanya.
Jusuf menambahkan bahwa praktik jurnalisme profesional menuntut keseimbangan antara keberanian bertanya dan kecermatan etika. “Kritik memang perlu, tapi disampaikan dengan cara yang tidak mengabaikan konteks. Sebaliknya, pemerintah pun tidak boleh menutup ruang bagi kritik dengan alasan menjaga protokol,” katanya.
Polemik pencabutan kartu liputan ini mengingatkan publik bahwa hubungan pemerintah dan pers tidak bisa dilepaskan dari prinsip saling menghormati. Menurut Jusuf, demokrasi hanya akan berjalan sehat bila ada keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak.
“Pemerintah harus siap menerima kritik, sementara wartawan wajib menjaga etika. Kebebasan bertanya tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan aturan forum. Begitu juga kebebasan menjawab tidak bisa dipakai untuk membenarkan pencabutan akses. Semua akan bermakna bila dijalankan dengan prinsip kesalingan,” tuturnya.
Ia pun menutup pesannya dengan ajakan untuk menjadikan insiden ini sebagai pembelajaran bersama. “Pemerintah tidak boleh alergi kritik, dan pers jangan sampai mengabaikan kode etik. Keduanya sama-sama penting untuk menjaga kualitas demokrasi kita,” kata Jusuf Rizal.
Polemik pencabutan kartu liputan Istana terhadap Diana Valencia diperkirakan masih akan bergulir. Sejumlah organisasi jurnalis telah menyatakan sikap keberatan dan mendesak agar akses jurnalis CNN Indonesia tersebut dipulihkan. Namun, di luar perdebatan soal sanksi, pesan utama dari kasus ini adalah kebutuhan untuk menata kembali hubungan pers dan pemerintah: kritis tapi etis, terbuka tapi tetap profesional. (*)