Batam – Javanewsonline.co.id | Laporan dugaan penganiayaan yang diajukan M ke Polsek Lubuk Baja, Polresta Barelang, Polda Kepulauan Riau, pada 5 Juli 2024, masih berjalan di tempat. Meski bukti visum dan rekaman CCTV telah disertakan, hingga lebih dari satu tahun perkara itu belum juga menunjukkan perkembangan berarti.

Hasil visum dari Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam mencatat adanya luka kemerahan di bagian telinga luar korban berukuran 0,5 x 0,5 sentimeter. Meski tergolong luka ringan, kuasa hukum menilai fakta itu cukup menjadi bukti awal terjadinya penganiayaan. Namun, langkah penyidik tidak kunjung naik ke tahap penyidikan yang semestinya memberi kepastian hukum bagi pelapor.

Pendiri organisasi Persaudaraan Timur Raya (PETIR), Habib Muchdar Hasan Assegaf, menilai aparat terkesan mengulur waktu. “Harusnya, Polsek Lubuk Baja bersikap proaktif. Tidak ada seorang pun yang kebal hukum di negeri ini, termasuk TT yang diduga pelaku,” ujarnya, Sabtu, 27 September 2025.

Menurut Muchdar, kasus yang berlarut-larut ini menambah kesan buruk terhadap penegakan hukum. “Sudah lebih dari setahun dilaporkan, tapi tidak ada kemajuan signifikan. Polisi harus menanganinya secara profesional, bukan membiarkan pelaku berkeliaran tanpa tersentuh hukum,” katanya. Ia menambahkan, transparansi dan keadilan adalah kunci agar kepercayaan publik tidak runtuh.

TT, seorang agen asuransi di Batam, disebut-sebut memiliki “beking kuat” sehingga jalannya perkara seperti terhambat. Rumor ini semakin memperkeruh persepsi publik terhadap independensi penyidik.

Kuasa Hukum Keberatan Kasus Disederhanakan

Kuasa hukum M, Rusdinur SH MH, mengaku sudah menempuh berbagai upaya. Pihaknya telah mengajukan permohonan atensi khusus ke Polda Kepri dan Propam Polda Kepri. “Kami mengadukan ketidakprofesionalan penyidik. Kasus ini jelas melanggar Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, yang ancaman hukumannya di atas lima tahun,” ujarnya.

Rusdinur menegaskan, kliennya menjadi korban penamparan di muka umum saat berjalan bersama anak perempuannya di area Grand Mall Batam. “Pelaku menampar wajah klien kami di depan umum, di hadapan anak kecil, dan itu menimbulkan trauma mendalam,” katanya.

Menurut dia, rekaman CCTV memperlihatkan pelaku lebih dulu mengikuti korban sambil merekam dengan ponsel, sebelum akhirnya melancarkan aksi penamparan. “Perbuatan itu bukan spontan, tapi diduga sudah direncanakan,” tambahnya.

Namun, alih-alih melanjutkan ke proses pidana biasa, Polsek Lubuk Baja justru mengklasifikasikan kasus ini sebagai tindak pidana ringan (tipiring). “Ini sungguh aneh. Perkara yang dilakukan di depan umum, di hadapan anak kecil, bahkan ada indikasi perencanaan, kok disederhanakan menjadi tipiring?” ujar Rusdinur.

Perkara Mandek, SP2HP Tidak Jelas

Rusdinur juga menyoroti kewajiban penyidik untuk memberikan pemberitahuan perkembangan hasil perkara (SP2HP). Hingga kini, kata dia, pihaknya tidak tahu apakah kasus sudah naik ke penyidikan atau tidak. “Sudah lebih dari satu tahun, tapi posisi perkara pun tidak jelas. Padahal penyidik wajib memberi laporan berkala,” katanya.

Ia menilai, pelaku masih bebas tanpa proses hukum yang semestinya. “Sementara klien kami masih menanggung trauma, pelaku masih bisa menghirup udara segar seolah tidak bersalah,” ucapnya.

Kuasa hukum menegaskan keberatan mereka terhadap langkah penyidik. “Kalau kasus ini tetap diproses sebagai tipiring, kami akan melapor ke Bareskrim Polri. Kami juga siap mengajukan pra-peradilan agar perkara ini diperlakukan sebagai perkara biasa,” kata Rusdinur.

Ancaman Laporan Etik

Selain jalur hukum pidana, Rusdinur juga menyiapkan langkah etik. Ia menilai ada dugaan pelanggaran kode etik profesi dalam penanganan perkara ini. “Kami punya kewajiban melaporkan ke Propam. Rujukannya Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian dan Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022,” ujarnya.

Menurut dia, penyidik seharusnya menjunjung prinsip profesionalisme, akuntabilitas, dan transparansi. “Bukan malah menyederhanakan perkara serius yang berdampak traumatis bagi korban dan anaknya,” katanya.

Publik Menanti Kepastian

Kasus dugaan penganiayaan yang mandek ini menambah catatan panjang perkara serupa yang kerap tak segera dituntaskan. Bagi korban, keadilan terasa semakin jauh. “Kami hanya berharap kasus ini bisa diselesaikan dengan adil dan transparan,” kata Habib Muchdar.

Masyarakat Batam kini menanti sikap kepolisian, apakah berani membawa kasus ini ke ranah hukum yang sesungguhnya atau terus membiarkannya tertahan di meja penyidik. Sementara itu, kuasa hukum M memastikan tidak akan berhenti memperjuangkan kliennya.

“Kalau polisi di tingkat polsek tidak bisa menuntaskan, kami akan naikkan ke level nasional. Prinsipnya, tidak ada yang kebal hukum,” ujar Rusdinur.

Kasus ini akan menjadi ujian penting bagi aparat kepolisian dalam menjaga kepercayaan publik: apakah hukum benar-benar berlaku untuk semua warga negara, atau hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. (Erizal)