Pekanbaru – Javanewsonline.co.id | Di balik gemerlap perkembangan ekonomi yang pesat, terdapat satu kisah yang terkadang terlupakan. Kisah ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir Sungai Kampar, khususnya di sekitar konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT RAPP (dari Group APRIL), yang mengelola tanaman akasia di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Kisah dimulai dengan cita-cita membangun perkebunan berkelanjutan sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs), sebuah panduan global yang bertujuan memajukan hak asasi manusia, kesetaraan, dan pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berkelanjutan.
Fokusnya adalah meminimalkan konflik, baik dalam pengelolaan hutan maupun dalam penggunaan lahan. SDGs juga mendorong kemandirian masyarakat dalam membangun komunitas mereka.
PT RAPP, yang menjadi salah satu produsen pulpa dan kertas terbesar di Asia, beroperasi di Desa Sungai Ara, Kecamatan Pelalawan. Namun, seiring megahnya kebun akasia mereka, masyarakat pesisir Sungai Kampar, yang hidup dengan ekonomi yang serba kekurangan, menilai bahwa kondisi mereka hanya semakin memburuk.
Mereka yang mandi dan mencuci di sungai yang airnya tercemar, harus berbagi tempat dengan aktivitas perusahaan besar seperti APRIL Group yang memiliki wilayah operasional yang cukup luas di sekitar Desa Sungai Ara dan Kecamatan Teluk Meranti.
Pada tanggal 7 November 2023, seorang praktisi hukum, Rusdinur SH MH, yang merupakan asli dari Kabupaten Kampar, mengekspos masalah tanah adat dan hak atas tanaman kehidupan yang belum diberikan kompensasi selama lebih dari dua dekade sejak PT RAPP membuka lahan HTI di Kabupaten Pelalawan.
Dia mengungkap bahwa setidaknya ada enam desa, termasuk Desa Sungai Ara, Kelurahan Pelalawan, Desa Kuala Tolam, Desa Rangsang, Desa Pangkalan Terap, dan Desa Kuala Panduk, yang tidak menerima kompensasi yang seharusnya mereka terima. Bahkan ada desa lain, seperti Desa Lubuk Kembang Bunga di Kecamatan Ukui, yang belum menerima kompensasi sama sekali, meskipun wilayah mereka berada dalam kawasan HTI PT RAPP.
Rusdinur menyoroti masalah pengesahan Rencana Kegiatan Usaha (RKU) yang wajib dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hutan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana RKU ini diberikan, sementara kewajiban sosial terkait Corporate Social Responsibility (CSR) tampaknya tidak terpenuhi, terutama terkait kompensasi tanaman kehidupan yang wajib diberikan kepada masyarakat selama empat daur tanam. Nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Kompensasi ini bisa berupa tanaman keras seperti karet, yang dapat dihitung berdasarkan tonase atau dikonversi menjadi uang bagi masyarakat lokal. Rusdinur, sebagai seorang praktisi hukum dan putra daerah, percaya bahwa ini adalah hak masyarakat yang harus dipertahankan.
Sebagai praktisi hukum dan sebagai putra asli kampar, tentunya Rusdinur wajib menyuarakan, karena ini merupakan hak dari masyarakat yang wajib dituntut. Bagi masyarakat yang belum menerima hak mereka, langkah hukum dapat diambil dalam bentuk gugatan class action atau melalui perwakilan di parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah, selama ada dasar hukum yang jelas. Rusdinur berharap agar pejabat pemerintah dan pemangku adat memberikan perhatian khusus pada isu ini, mengingat asal-usul hutan di Pelalawan yang sekarang menjadi HTI PT RAPP berasal dari hutan negara atau hak tanah adat.
Meskipun peraturan terkait tanaman kehidupan telah berubah dalam beberapa dekade terakhir, hak masyarakat harus tetap dihormati. Jika tidak ada jalan keluar, konflik antara masyarakat dan perusahaan akan terus berlanjut. Rusdinur dan para praktisi hukum lainnya bersedia menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak masyarakat dan, jika diperlukan, akan mengambil langkah-langkah hukum seperti gugatan class action.
“Tentunya saya berharap adanya perhatian khusus dari pejabat pemerintah, terutama para pemangku adat, karena saya berasumsi bahwa hutan pelalawan yang diberikan hak pengelolaan hutan menjadi HP HTI tersebut cikal bakalnya berasal dari hutan negara/adat atau hak tanah ulayat,” ungkap Rusdinur.
Kisah ini adalah refleksi dari perjuangan antara kepentingan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal, serta nilai-nilai pembangunan berkelanjutan yang harus dijaga. Sementara matahari terbenam di cakrawala, deburan ombak tetap menjadi saksi atas kisah panjang ini, menunggu titik terang bagi masyarakat di sepanjang pesisir Sungai Kampar. Meski perjuangan masih panjang, harapan untuk perubahan tetap menyala terang.
Dalam beberapa dekade memang aturan yang mengatur tentang tanaman kehidupan tersebut berubah, dan terkait tanaman kehidupan ini kabarnya telah dianulir dan akan tetapi belum menemukan dasar hukum yang kuat terkait hal itu.
“Walaupun demikian, yang namanya undang undang dan aturan pelaksanaannya, tentunya tidak berlaku surut, apa yang menjadi hak masyarakat seharusnya tetap dikeluarkan dan hal itu menjadi kewajiban corporate,” tegasnya. Salah satu Humas PT RAPP, saat di konfirmasi awak media, terkait tanaman kehidupan yang berada di Desa Sungai Ara Kecamatan Pelalawan, sampai berita ini di naikkan belum memberikan jawaban. (Erizal)
More Stories
Lampu Isyarat Mati, Kehati-hatian Masyarakat di Simpang Langgam Pangkalan Kerinci
Reformasi Birokrasi Tubaba Melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
Menanggulangi Stunting di Mentawai: Kerja Sama dan Tantangan